“Swipe, Klik, Bayar Tapi Pajaknya ke Mana?”


Era digital membuat hampir semua aktivitas dapat dilakukan hanya dengan menggeser layar, menekan tombol, dan menyelesaikan pembayaran. Belanja di marketplace, berlangganan layanan seperti Netflix, memesan makanan melalui aplikasi, hingga berdonasi secara daring telah menjadi rutinitas masyarakat Indonesia. Namun, di balik pesatnya transaksi elektronik ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah negara mendapatkan porsi pajak yang semestinya dari geliat ekonomi digital yang terus membesar? Ataukah kita justru membiarkan potensi kebocoran fiskal berlangsung tanpa disadari di balik layar gawai?

Tantangan Nyata: Transaksi Tersembunyi, Pajak Tidak Tertagih
Perubahan digital telah mengguncang hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk mekanisme pemungutan pajak. Jika sebelumnya negara relatif mudah memungut pajak dari toko fisik, kantor perusahaan, atau karyawan formal, kini situasinya berubah. Kehadiran platform global seperti TikTok Shop, Amazon, dan YouTube memungkinkan perputaran uang lintas negara terjadi seketika tanpa memerlukan kehadiran fisik di Indonesia.

Data McKinsey (2024) memproyeksikan nilai e-commerce Indonesia mencapai USD 82 miliar pada 2025. Namun, sebagian besar transaksi tersebut sulit dipajaki karena pelakunya adalah entitas asing yang tidak memiliki pendaftaran fisik di Indonesia. Akibatnya, barang dan jasa tetap terjual, tetapi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) belum tentu terserap.

Upaya Pemerintah: PMK 37/2025 dan Rp34,91 Triliun Penerimaan Digital
Melalui PMK 37/2025, pemerintah mewajibkan perusahaan digital luar negeri seperti Google, Netflix, TikTok, dan Zoom untuk memungut PPN atas penjualan ke konsumen Indonesia. Hasilnya, hingga Maret 2025, penerimaan pajak digital mencapai Rp34,91 triliun. Meski capaian ini positif, masih terdapat celah penghindaran pajak, terutama dari transaksi tidak terdokumentasi atau usaha kecil yang belum terhubung dengan sistem perpajakan digital.

Shadow Economy Digital dan Ketidakadilan Fiskal
Di sisi lain, tumbuh fenomena shadow digital economy, yakni kegiatan ekonomi yang tidak tersentuh regulasi pajak karena memanfaatkan anonimitas, pembayaran tak terlacak seperti kripto, atau platform yang belum terintegrasi dengan sistem fiskal nasional. Transaksi NFT, aset kripto, dan layanan freelance global yang dibayar melalui PayPal atau USDT dapat terjadi ribuan kali per hari tanpa tercatat di sistem pajak Indonesia. Sementara itu, pelaku UMKM di pasar konvensional tetap wajib membayar pajak manual, menimbulkan kesenjangan keadilan fiskal.

Kolaborasi Internasional: Menagih Pajak di Dunia Tanpa Batas
Masalah ini memerlukan kerja sama global. Indonesia perlu aktif di forum OECD/G20 Inclusive Framework yang mendorong dua pilar reformasi:

  • Pillar 1: memberikan hak pemajakan kepada negara tempat konsumen berada.

  • Pillar 2: menetapkan pajak minimum global 15% untuk perusahaan multinasional.

Jika diterapkan dengan tepat, kebijakan ini memungkinkan Indonesia memperoleh pajak dari perusahaan raksasa seperti Meta, Amazon, dan Apple, yang selama ini hanya membayar di negara asalnya.

Peran Generasi Muda dan Literasi Pajak Digital
Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Generasi Z dan Alpha sebagai pengguna digital terbesar perlu memahami bahwa setiap aktivitas online memiliki implikasi fiskal. Menonton YouTube, berbelanja daring, atau berlangganan aplikasi merupakan bagian dari ekosistem ekonomi yang seharusnya menyumbang penerimaan negara. Program literasi seperti “Generasi Sadar Pajak Digital” perlu diperluas melalui konten edukatif di media sosial, melibatkan influencer untuk menyampaikan bahwa pajak adalah wujud gotong royong di dunia digital.

Menutup Celah: Pajak Digital yang Inklusif dan Adaptif
Langkah strategis yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Integrasi e-faktur dan e-invoicing hingga UMKM dan kreator digital.

  2. Pemutakhiran data transaksi lintas platform berbasis cloud dan API.

  3. Penguatan peran DJP daerah dalam pengawasan transaksi digital lokal.

  4. Penguatan kerangka hukum dan diplomasi digital internasional.

Penutup
Pertanyaan “Pajaknya ke mana?” adalah refleksi atas kedaulatan fiskal negara. Setiap swipe, klik, dan bayar merupakan bagian dari aktivitas ekonomi yang seharusnya menopang APBN dan mendanai layanan publik. Negara harus bergerak secepat teknologi, karena keterlambatan bukan hanya menghilangkan potensi pajak, tetapi juga mengancam keadilan fiskal dan masa depan bangsa.


Daftar Pustaka

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Direktorat Jenderal Pajak. (2025). Statistik Penerimaan Pajak Digital Triwulan I 2025. Diakses dari: https://www.pajak.go.id

McKinsey & Company. (2024). The Future of E-Commerce in Indonesia: Outlook 2025.

OECD. (2023). International Tax Reform: Pillar One and Pillar Two Explained. Diakses dari: https://www.oecd.org/tax/beps/

G20 Indonesia. (2022). Pernyataan Menteri Keuangan G20 tentang Pajak Digital Global.

Kompas.com. (2024). Penerimaan Pajak Digital Capai Rp34,91 Triliun di Kuartal I 2025.

Nurmala, T. & Rahayu, S. (2023). Literasi Pajak Digital pada Generasi Z: Sebuah Studi Komparatif. Jurnal Perpajakan Indonesia, 15(2), 101–115.

Bappenas. (2023). Strategi Transformasi Ekonomi Digital Nasional 2023–2030.

Siregar, H. (2022). Shadow Economy dan Tantangan Perpajakan Indonesia di Era Digital. Jurnal Kebijakan Fiskal dan Moneter, 19(3), 88–96.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengabdian Bukan Seremonial: Harmoni Mahasiswa dan Desa dalam Mewujudkan Generasi Emas

SEMADIKSI UNUSA IKUT HADIR DI FKMBK (FORUM KOMUNIKASI MAHASISWA BIDIKMISI KIP KULIAH) JATIM DALAM KEGIATAN MUSWIL X JATIM (MUSYAWARAH WILAYAH X JAWA TIMUR) TAHUN 2024 DI UNIVERSITAS JEMBER